Sabtu, 07 April 2012

Tentang Tuhan


tentang Tuhan, setiap orang biasanya akan mengutip ayat-ayat yang dapat mendukung gambarannya tentang Tuhan yang diyakininnya.

Jadi bagaimana lagi cara kita memahami Tuhan? “Sudahlah”, kata teman saya, “Tuhan itu tidak boleh dipikirkan. Kita harus meyakininya”. Lalu teman saya yang lain membantah: “Bagaimana caranya meyakini sesuatu yang kita tidak tahu? Orang ribut menyebut Tuhan! Tuhan! Sembahlah Tuhan! Tetapi kita tidak tahu apa dan siapa Tuhan itu sebenarnya. Jadi kita menyembah apa sebenarnya?” Mendengar pendapat ini teman saya yang pertama langsung naik pitam: “Kamu harus percaya!”
Siapa yang mengharuskan saya percaya?

"Tuhan sendiri yang menyuruh melalui Nabi-nabinya. Dalam Alquran sudah jelas semuanya. Banyak ayat-ayat yang menyebut soal ini."

Ya betul. Tetapi kalau kita coba pahami lebih jauh, apa jaminannya bahwa yang diterima Nabi itu betul-betul dari Tuhan?

"Lho! Kita harus percaya! Apakah kamu masih orang Islam?"

Sampai di sini biasanya dialog harus dihentikan. Bagaikan orang yang sedang menelan banyak makanan, sampai pada suapan yang kesekian ia harus menghentikannya secara tiba-tiba, tanpa boleh minum air. Gerak alami nalar dihentikan, diberangus oleh dogma yang diyakini.

Sebenarnya pertanyaan tadi masih bisa dilanjutkan jika mereka mau mengikuti monolog batinnya secara jujur. Misalnya: Apa pula alasan kita untuk mengakui bahwa seseorang itu layak diyakini sebagai Nabi atau tidak? Lalu mungkin akan dijawab: Karena dia menerima wahyu. Lalu apa pula yang menjadi ukuran bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu? Lalu dijawab lagi: "Karena isinya di luar jangkauan pikiran manusia biasa”.

Jawaban terakhir ini bisa menjadi topik yang sangat polemis. Hanya karena sesuatu yang disampaikan itu begitu luar biasa mak otomatis dia akan dianggap sebagai Nabi? Ini berarti legitimasi kenabian seseorang ternyata berpijak pada keluarbiasaannya, sehingga orang-orang sekitarnya yang meyakininya langsung menganggapnya sebagai Nabi. Kemudian orang-orang terdekat dengan Nabi ini juga akan menyampaikannya pada orang lain. Begitulah seterusnya secara estafet pada lingkungan yang lebih jauh.

Singkatnya ini menyiratkan, bahwa pengakuan akan kenabian itu muncul dari manusia di sekitar Nabi itu sendiri, secara perlahan demi perlahan, mulai dari batas-batas wilayah sampai akhirnya juga melampaui batas waktu, batas zaman demi zaman, dan seterusnya. Artinya, secara blak-blakan, tidakkah ini dapat dikatakan bahwa manusialah secara bersama-sama yang mengangkat seseorang menjadi Nabi? Apa bedanya dengan seseorang yang diakui kehebatan, keluarbiasaannya, ketinggian moralnya, yang oleh suatu kaum atau suau komunitas tertentu juga dipercayai sebagai seorang pemimpin (spiritual)?

Pertanyaan ini masih bisa dilanjutkan. Jika memang Tuhan yang mengangkat seseorang menjadi Nabi, kenapa banyak pula yang membantah kenabian seorang (yang oleh sebagian lain dianggap sebagai Nabi)? Seandainya nyata-nyata Tuhan hadir dan disaksikan bersama oleh manusia ketika terjadi serah terima jabatan kenabian, tentu tidak akan ada yang membantah, tentu sekaligus juga tidak akan ada lagi yang akan meragukan ada tidaknya Tuhan. Tetapi faktanya, yang terjadi adalah seseorang menyampaikan hasil perenungannya, bisa jadi sampai bertemu dan bercakap-cakap dengan Tuhan dalam intuisi bathinnya, dan itulah yang disampaikan dan diserukan pada orang lain. Kebenaran ucapannya tentu saja bersifat psikologis. Karena yang ia alami adalah dalam ruang bathin atau pikirannya sendiri, sementara orang disekitarnnya tidak melihat apa-apa, kecuali hanya ekspresi wajah dan sikapnya yang gelisah misalnya (dalam kasus Nabi Muhammad).

Apakah itu bukan berarti bahwa apa yang dianggap sebagai wahyu itu adalah sebuah hasil permenungan (komtemplasi) yang luar biasa, sehingga juga menghasilkan hikmah-hikmah, ungkapan-ungkapan, percikan-percikan inspirasi yang luar biasa? Jika jawabannya ya, bukankah setiap manusia juga mengalami hal yang sama, walaupun dengan tingkat kedalaman dan intensitas yang berbeda, seperti yang sering kita sebut dengan ilham, ide, inspirasi dan sebagainya? Taroklah jika itu memang disepakati dan diyakini datang dari Tuhan, berarti setiap manusia juga menglami hal yang sama, setidaknya berpotensi untuk mengalami hal yang sama, tergantung pada tingkat kemauan, kepekaan dan intensitasnya untuk membuka dan melatih diri kearah itu.

Bukankah banyak tokoh-tokoh berprestasi di setiap lapangan kehidupan juga orang –orang yang dianggap luar biasa? Apakah itu di bidang ilmu pengetahuan, Filsafat, Seni, Kedokteran, Teknik, Para Normal, Ahli tenaga dalam dan sebagainya. Lantas kenapa untuk orang-orang seperti itu juga tidak dianggap sebagai Nabi? Kadang dijawab mereka hanya luar biasa dalam intelektualitasnya, bukan pada moralnnya. Kemudian mereka tidak membawa berita-berita ghaib. Untuk berita ghaib, kiranya tidak bisa diperdebatkan, seperti yang dijelaskan sehubungan dengan masalah wahyu dari Tuhan tadi, karena tidak ada alat (indra) yang memadai dari manusia untuk membuktikannya.

Kemudian kalau yang jadi ukurannya adalah moralnya, juga banyak sebenarnya tokoh-tokoh sepanjang sejarah yang akhlaknya luar biasa menyentuh dan menggetarkan hati. Sebutlah misalnya Sang Budha, Sokrates, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, dan bahkan mungkin orang–orang yang tidak terkenal sekali pun yang ada di sekitar kita.

Jadi apakah soal wahyu dan kenabian itu hanya bagai sebuah cerita fiktif?
Artinya yang membantah dan yang meyakininya begitu saja akan sama lucunya. Karena keduanya tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya. Apakah betul Tuhan menurunkan wahyu pada seseorang, apakah betul ada sesuatu yang bernama Tuhan itu sendiri? Yang tiba-tiba muncul lalu bercakap-cakap dengan seseorang, atau pun melalui sesosok makhluk yang bernama malaikat? Semua ini tidak bisa ditebak-tebak. Untuk meyakini dan membantahnya sebenarnya seseorang harus membuktikannya. Tetapi seandainya kedua pihak yang berbeda ini sama-sama menyaksikan, tentu keduanya tidak mungkin akan berbeda pendapat lagi dengan apa yang disaksikannya. Sudah bisa dipastikan secara serentak keduanya akan sama-sama meyakini atau sama sama-sama menolak, tergantung apa yang mereka saksikan.

Tetapi kenyataannya sejak awal kemunculan kisah-kisah kenabian sepanjang sejarah manusia hingga hari ini tetap saja tidak ada yang bisa membuktikan semua pertanyaan demi pertanyaan seputar kenabian, wahyu dan Tuhan, sehingga semua itulah yang menjadi sumber perdebatan yang tak pernah berkesudahan. Sayangnya oleh sebagian besar manusia keraguan dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dibungkus rapat-rapat dengan selimut ketakutan (untuk tidak menyebutnya kebodohan).

Inilah dilema pembicaraan tentang Tuhan. Dari berbagai arah dan sumber pijakan mana pun, akhirnya pembicaraan tentang Tuhan akhirnya membentur tembok, tembok yang membatasi alam kemanusiaan kita yang kasat mata ini dengan suatu Misteri besar yang kita sebut dengan Tuhan.

Jawaban kaum beragama kadang terasa bagai sebuah dongeng yang indah, yang selalu dijadikan sebagai "katub pengaman" bagi jiwa dan pikiran yang sudah lelah mencari, atau sebagai "satpam" yang siap melindungi orang-orang yang takut beranjak dari rumah persembunyiannya (untuk tidak menyebut kemalasan berpikir).

Sementara jawaban dari sang pencari dan pembunuh Tuhan bagaikan hamparan padang pasir yang tak bertepi dan melelahkan. Sedangkan Tuhan tidak pernah turun dan hadir untuk mengahakmi semuanya.

Dan sayangnya,
Manusia saling menghakimi atas nama Tuhan yang tidak diketahuinya.

0 komentar: