Yang belum
biasa berdebat soal agama sebaiknya jangan membaca tulisan ini. Karena tulisan
ini bisa mengusik keimanan anda. Paling tidak nanti bisa membuat sakit jantung
anda kumat lagi.
Selalu dan selalu saja perdebatan soal agama memicu pertengkaran. Saling hujat dan saling tikam kata-kata, baik antar lain agama maupun dalam satu agama itu sendiri. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Karena agama sudah menjadi mainan anak-anak. Sesuatu yang saling diperebutkan. Sesuatu yang tidak boleh saling disentuh satu sama lain.
Selalu dan selalu saja perdebatan soal agama memicu pertengkaran. Saling hujat dan saling tikam kata-kata, baik antar lain agama maupun dalam satu agama itu sendiri. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Karena agama sudah menjadi mainan anak-anak. Sesuatu yang saling diperebutkan. Sesuatu yang tidak boleh saling disentuh satu sama lain.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Menurut saya karena kebanyakan diantara umat beragama belum bisa memisahkan mana wilayah diskusi dan mana wilayah iman. Mana wilayah publik dan mana wilayah privasi. Mana yang disebut kritis dan mana yang disebut menghina. Tapi anehnya mereka tetap tertarik ingin berdiskusi, walaupun yang mereka lakukan bukanlah diskusi, tapi adalah saling melempar klaim. Dan akhirnya saling menyinggung wilayah pribadi diantara mereka.
Dan bila dicermati lebih jauh, saya melihat akar dari segala akar bukanlah pada agama itu sendiri. Tapi adalah pada umatnya. Bukan pada keimanan umatnya, tapi adalah pada cara berpikirnya. Kenapa saya berani meyatakan penyebabnya adalah pada cara berpikir? Karena benturan antar agama dan paham dalam agama lebih banyak terjadi di tingkat akar rumput, dimana rata-rata dasar keimanan mereka bukan dimbangi dengan berpikir kritis, tapi lebih pada rasa fanatik. Tapi ditingkat elit agama, ditingkat cendikiawan, nyaris hal itu tidak terjadi. Termasuk dikalangan para mistikus agama.
Tapi kenapa di tingkat umat sangat rawan terjadi?
Saya teringat pernyataan Plato bahwa ditingkat hakikat hanya ada satu “kursi”. Artinya, agama itu sejatinya ditingkat hakikat, tujuannya hanya satu, yatu ajaran yang membawa kedamaian. Dan inilah model kesadaran beragama yang melekat di tingkat elit keagamaan. Itu sebanya mereka bisa duduk bersama saling membicarakan problem-problem keagamaan, baik yang bersifat terotis maupun yang bersifat praktis. Begitu juga di kalangan mistikus agama. Mereka bisa saling bermunajat dan meditasi walaupun dalam satu ruangan dengan antar agama.
Tapi kenapa di tingkat umat sangat sensitif terjadi benturan?
Karena mereka tidak melihat pada tujuannya. Tapi lebih pada detail perbedaan pada rinciannya. Sehingga fokus perhatian mereka lebih terarah pada perbedaan dan selalu tenggelam bergulat dalam membesar-besarkan perbedaan. Bukan mencari titik temu dan persamaan.
Lalu apa jalan keluar yang memungkinkan untuk hal ini?
Saya melihat adalah pada cara berpikir. Berpikir kritis. Berpikir ilmiah. Atau yang juga disebut dengan istilah epistemologi. Bukan dalam arti umat beragama harus menjadi seorang rasionalis yang menganut paham rasionalisme. Tapi lebih sebagai balance yang bisa memperkuat keyakinannya secara sehat. Umat agama harus memperkaya wawasan agamanya lebih dari sekedar menghafal teks-teks keagamaan dan mengamalkannya secara harfiah dalam kenyataan hidup sehari-hari. Umat beragama harus memahami masalah teks dan konteks. Masalah teks dan penafsiran.
Sehubungan dengan ini saya teringat kisah seorang sahabat saya yang bukan main taatnya beragama. Waktu itu ia sudah melahap sebuah makanan kaleng (saya lupa nama makanannya). Beberapa waktu kemudian beredar isu di media massa bahwa makanan yang sudah dilahapnya mengandung lemak babi. Maka mendegar kisah itu ia langsung gelisah. Dan yang paling mengagetkan saya adalah dia ingin dioperasi agar dibersihkan segala unsur lemak babi yang ada dalam tubuhnya.
Apa artinya ini?
Secara pribadi saya sangat kagum akan ketaatannya. Tapi di sisi lain saya menjadi sangat prihatin dengan cara berpikirnya. Padahal, setahu saya, untuk hal-hal yang kita tidak tahu dan tidak sengaja, agama akan memaklumi. Sebuah hukum syrariat, setahu saya, akan berlaku bila pelakunya melakukannya dalam kesadaran penuh. Artinya bukan karena lupa dan tidak sengaja.
Pesan moral dibalik aturan agama tentang hal ini sebenarnya sangat mudah dipahami jika hal itu dicerna dengan akal. Karena manusia pada dasarnya memang makhluk yang selalu dalam keadaan kilaf. Dan itu sudah kodrat kemanusiaannya. Untuk itulah ada peluang untuk tobat. Untuk tetap kembali setiap manusia melakukan kesalahan. Jangankan terhadap hal-hal yang tidak disengaja, untuk hal-hal yang disengaja pun Tuhan tetap mengampuninya.
0 komentar:
Posting Komentar