Atheis adalah mereka yang menyatakan bahwa Tuhan tidak ada. Mereka
mungkin mengatakan bahwa realitas terdiri dari atom-atom atau
komponen-komponennya. Apapun analisa, kelompok orang ini menyatakan
bahwa realitas fisik yang terbatas adalah segala-galanya dan tidak ada
lagi yang lain. Ada beberapa golongan dalam kelompok ini.
Kelompok yang menonjol secara historis adalah penganut Positivisme
Logika. Dengan menggunakan analisa bahasa, mereka menyimpulkan bahwa
teologi bukan saja salah tetapi tidak dapat dipahami sama sekali. Bagi
mereka, berbicara tentang Tuhan sama saja dengan mengatakan bahwa “mesin
tik itu adalah suara hijau kebiru-biruan dari akar pangkat dua dari
minus satu.” Menurut mereka Teologi malah tidak pantas untuk disebut
salah; teologi tidak punya makna sama sekali. Pemuja saintisme lain
bukan kaum penganutPositivisme Logika. Teori mereka disebut naturalisme atau humanisme, dan mereka menyebut teologi sebagai dusta yang fanatik. Berbagai penganut politik liberal adalah ateis dan seringkali kredo sosialistik mereka menyerang teologi sebagai hambatan reaksioner terhadap kemajuan sosial.
Panteisme dan Agnostisisme
Penting untuk membedakan antara dua bentuk ateisme karena bentuk ateisme kedua yang disebut panteisme tampak sangat percaya kepada Tuhan. Bentuk ateisme kedua ini menyatakan bahwa Tuhan ada dan teori mereka pantas disebut sebagai teologi. Orang-orang ini tidak mau dikenal sebagai orang yang tidak beragama. Namun mereka mendefinisikan Tuhan sebagai semua yang ada. Spinoza menggunakan frasa Deus sive Natura: Tuhan, yakni, Alam. Beberapa di antara mereka malah menggunakan istilah Keberadaan Murni (Pure Being), atau frase dari teolog Paul Tillich, The Ground of All Being (Dasar dari Segala Keberadaan). Jadi menurut mereka Tuhan adalah alam semesta itu sendiri. Dia bukan Pencipta. Karena mereka menyebut Tuhan sebagai Sang Semua, kelompok ini disebut Panteis.
Secara logis tidak ada perbedaan antara Ateisme dan Panteisme. Menyangkali Tuhan dan menerapkan istilah Tuhan kepada segala sesuatu adalah identik secara konseptual. Sebagai contoh, andaikata saya mengatakan bahwa grumpstein ada dan mencoba membuktikannya dengan menunjuk misalnya kepada jerapah, bintang, pegunungan, dan buku: dan mengatakan bahwa semuanya adalah grumpstein, lalu karena itu berkesimpulan bahwa grumpstein ada. Kaum panteis menunjuk kepada jerapah, bintang, dan lain-lain dan berkata karena itu Tuhan ada. Mereka yang menyangkal Tuhan yaitu ateis dan mereka yang mengatakan bahwa Tuhan adalah segala sesuatu sebenarnya menyatakan bahwa tidak ada realitas selain alam fisik. Dalam kosa kata Kristen dan kosa kata yang biasa digunakan di seluruh dunia, Tuhan berbeda dari alam semesta seperti halnya jerapah berbeda dari bintang dan malah perbedaannya lebih daripada itu.
Ada lagi jenis ateisme lain yang penganutnya dengan keras menolak disebut ateis. Secara teknis mereka bukan ateis, beberapa di antara mereka ateis. Kelompok ini disebut kelompok agnostik. Mereka tidak mengatakan bahwa Tuhan ada, demikian juga sebaliknya mereka juga tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada; mereka hanya mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Mereka mengklaim ketidaktahuan. Namun demikian, ketidaktahuan bukanlah teori yang dapat dibahas. Ketidaktahuan merupakan keadan pikiran. Seorang yang tidak tahu tidak perlu membuktikan bahwa dia tidak tahu dengan menggunakan argumen. Dia hanya tidak tahu. Orang seperti itu perlu diajar.
Mungkin sebagian besar orang Amerika masuk dalam kelompok ateis tertentu. Kalau ditanya, mereka mungkin akan mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan. Namun mereka mungkin juga tidak percaya karena ada keuntungannya. Kecuali orang menyebut Tuhan, mereka tidak pernah berpikir tentang Tuhan; mereka tidak pernah berdoa; Tuhan bukan bagian dari rencana dan perhitungan harian mereka. Kehidupan mereka, pikiran mereka, dan pemikiran mereka tidak berbeda secara berarti dengan kehidupan ateis dan agnostik. Mereka adalah “ateis praktis.”
Argumen Ateis
Pembaca tulisan ini mungkin mengharapkan akan mendapatkan bantahan langsung terhadap ateisme. Tetapi dia mungkin akan kecewa karena keadaannya sedikit rumit. Pertama-tama, orang mungkin akan menuduh ateis bahwa dia tidak pernah membuktikan bahwa alam fisik adalah satu-satunya realitas dan tidak ada sesuatu yang supranatural. Jawaban ini akan cukup andaikata istilah ateisme didefinisikan sebagai penyangkalan akan adanya Tuhan. Namun ateis seperti halnya juga agnostik, mengalihkan beban pembuktian dan berkata bahwa teislah yang harus mendemonstrasikan kebenaran pandangannya; sedangkan ateis sendiri bebas dari tugas seperti itu. Kaum ateis boleh saja berbicara bolak-balik sana sini tentang hal ini. Namun, Ernest Nagel, yang mungkin bisa disebut sebagai penganut filsafat naturalisme, berargumen bahwa: “kejadian-kejadian [maksudnya semua yang terjadi tanpa kecuali]…bersifat kontingen/tergantung pada pengaturan badan-badan yang dibatasi spatio-temporal…. Hal itu merupakan kesimpulan yang paling teruji dari pengalaman…. Tidak ada tempat untuk roh yang bersifat imaterial yang mengarahkan kejadian-kejadian tersebut, tidak ada tempat untuk bertahannya kepribadian setelah rusaknya tubuh yang menunjukkan kepribadian tersebut.”
Pernyataan ini bersifat ateis dan bukan agnostik. Dia berargumen bahwa sains telah membuktikan ketiadaan Tuhan, namun argumennya tidak valid. Tidak ada seorangpun ilmuwan yang menghasillkan bukti bahwa intelektual manusia berhenti berfungsi setelah kematian. Karena metodenya belum menemukan roh, Nagel berasumsi bahwa roh tidak ada. Dia menolak mempertanyakan metodenya. Ateisme bukanlah kesimpulan yang ditarik dari metodenya; namun asumsi yang mendasari metodenya.
Kaum agnostik di satu pihak tidak terlalu dogmatis. Dia mengalihkan beban pembuktian dan menuntut teis untuk membuktikan bahwa Roh Yang Mahakuasa telah menciptakan dan sekarang mengendalikan alam semesta. Ini tantangan yang cukup besar dan tantangan ini harus dihadapi orang Kristen. Tidak ada orang Kristen yang memiliki kemampuan intelek yang boleh mencari alasan dengan mengatakan bahwa teologi adalah urusan tidak berguna yang terlampau detail. Petrus memperingatkan kita untuk bersikap sebaliknya. Kaum “ateis praktis” sebenarnya adalah agnostik dan kita harus mengkhotbahkan Injil kepada mereka –dan bahwa kekuasaan Tuhan adalah bagian dari Injil. Namun mereka akan menjawab, “Bagaimana kamu tahu bahwa ada Tuhan?” Orang Kristen yang tidak paham teologi tidak siap menjawab pertanyaan seperti ini. Bagaimana mungkin kita mengenal Tuhan? Apakah Tuhan itu hanya pengalaman pengalaman ekstatis, kesurupan, dan dugaan? Apakah Dia begitu transenden sehingga kita tidak dapat mengetahui maupun berbicara tentang Dia? Ataukah Dia tidak terlalu transenden? Jadi seorang apologet Kristen, yakni penginjil Kristen, harus memiliki konsep yang jelas tentang Tuhan saat berhadapan dengan penyelidik. Dia harus paham teologi.
0 komentar:
Posting Komentar